Bicara Pancasila, Megawati : Jangan Lupakan Soekarno Proklamator Indonesia

Written By :

Category :

Berita, Daerah, Internal, Nasional

Posted On :

Share This :

MAPS :

Bandar Lampung – Pancasila sebagai ideologi dan dasar negara Indonesia sudah sering dibahas oleh sejumlah pakar di tanah air. Namun Megawati Soekarno Putri melihat, dalam pembahasan tersebut masih sering melupakan peran yang dilakukan oleh proklamator dan presiden pertama Republik Indonesia Ir. Soekarno. Termasuk peran Soekarno dalam penyusunan UUD 1945, jarang diungkap kepada masyarakat umum.

Hal tersebut disampaikan Megawati Soekarno Putri dalam pengantar buku “Asas Kehidupan Berbangsa & Bernegara Jejak Pemikiran Soekarno, karya Prof.Dr.Hamka Haq,MA, yang dikutib, media ini, di Bandar Lampung, Selasa (21/03/2023).

Disampaikan Megawati, peran Bung Karno dalam perumusan Pancasila dan UUD 1945, sering dilupakan adalah dampak dari de –Soekarnoisasi di zaman lalu, yang ingin menghapus jejak langkah pemikiran dan aktivitas Bung Karno.

“Untuk itu sangat perlu upaya menghimpun informasi masa silam tentang penyusunan dasar negara dan UUD 1945, agar dapat diketahui masyarakat umum betapa besar jasa para pahlawan pendiri negara, khususnya Bung Karno, dalam perumusan dasar-dasar kehidupan berbangsa dan bernegara kita,”ujarnya.

Hal itu sangat penting bagi generasi sekarang, untuk dapat menghayati secara filosofis dan patriotik, arti perjuangan para pendiri negara di masa lalu. Agar seluruh anak bangsa sadar untuk tetap membela dan mempertahankan negara kesatuan Republik Indonesia di atas dasar Pancasila dan UUD 1945.

“Kita harus memahami peran penting para pendiri negara, Bung Karno pada masa awal revolusi kemerdekaan dan peletakan awal konstitusi negara. Pemahaman seperti itu perlu sebagai wujud penghargaan terhadap pahlawan nasional, bapak proklamator Ir.Soekarno sesuai dengan semboyan kita, bangsa yang besar ialah bangsa yang menghargai pahlawannya,”ungkap Ketua Umum PDI Perjuangan itu.

Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum dan Keamanan RI, Prof.Dr. Mahfud MD mengatakan, Bung Karno adalah pemikir dan pejuang islam substantif yang inklusif dalam kehidupan berbangsa dan bernegara yang masyarakatnya sangat mejemuk seperti Indonesia.

Ada pihak yang keliru atau kurang tepat ketika ikut menyimpulkan pembelahan kosep politik di antara pendiri negara pada tahun 1945, yakni ketika memotret pengelompokan para pendiri negara ke dalam politik aliran dan memasukkan tokoh-tokoh pendiri negara ke dalamnya.

Menjelang sampai awal-awal kemerdekaan Indonesia ada yang menteorikan bahwa penyusunan dasar dan konstitusi negara Indonesia didominasi oleh dua aliran politik, yakni aliran kebangsaan (sekuler) dan aliran agama (islam).

Kelompok yang satu menginginkan Indonesia dibangun sebagai negara kebangsaan (nation state) yang sekuler, sedangkan kelompok yang satunya menginginkan Indonesia dibangun sebagai negara agama atau teokrasi yakni negara Islam (Islamic state). Pengelompokan yang dominan itu tampak pada komposisi dan argumentasi dengan retorik pada badan pendiri negara, yakni badan penyelidik usaha-usaha persiapan kemerdekaan dan panitia persiapan kemerdekaan.

Pada umumnya dikatakan bahwa bung karno, Bung Hatta, M. Yamin, Ahmad Subardjo, dan lain-lain merupakan tokoh-tokoh aliran kebangsaan, sedangkan Wachid Hasyim, Ki Bagoes Hadikoesoemo, Agus Salim, Kahar Muzakkir adalah tokoh-tokoh aliran islam.

Kesan lanjutan yang kemudian dibangun dan terbangun adalah stigmatisasi bahwa tokoh-tokoh golongan kebangsaan tidak menyukai nilai-nilai islam dalam bernegara, sedangkan tokoh-tokoh golongan islam tidak menyukai ide nasionalisme.

“Inilah yang kemudian diluruskan oleh Endang Saifuddin Anshari melalui bukunya ‘Piagam Jakarta 22 Juni 1945 dan sejarah Konsensus Nasional antara nasional islami dan nasional sekuler tentang dasar republik Indonesia 1945-1959’,”tulis Mahfud dalam pengantar buku yang sama karya Prof.Dr.Hamka Haq,MA .

Menurut Endang Saifuddin, pengelompokan secara hitam putih atas golongan islam dan golongan nasionalis itu tidaklah benar.

Kedua golongan itu sama-sama nasionalis tetapi yang golongan kebangsaan adalah nasionalis sekuler sedangkan yang golongan islam adalah nasional islami.

Meskipun begitu, jejak penggolongan itu masih berlanjut dengan identifikasi baru bahwa tokoh-tokoh islam dari golongan nasionalis sekuler adalah penganut islam abangan, sedangkan tokoh-tokoh dari golongan nasionalis islam adalah golongan islam santri.

“Identifikasi yang seperti ini lebih menyesatkan lagi, karena dalam faktanya orang-orang seperti Bung Karno, Bung Hatta, M.Yamin, dan yang lainnya kalau dalam praktik keagamaannya adalah islam santri, yakni melakukan ibadah-ibadah mahdhah dengan tertib,”ungkapnya.

Mahfud memastikan Bung Karno bukanlah Islam sekuler atau abangan. Melihat jejak perjuangannya yang pernah belajar kepada tokoh islam HOS Tjokroaminoto, korespondensinya dengan tokoh ormas persatuan islam A.Hassan tentang masalah-masalah ke islaman, dan keterlibatannya sebagai guru sekolah dan pengurus muhammadiyah tidak dapat dibantah bahwa Bung Karno tergolong islam santri, yakni seorang muslim yang taat menjalankan agamanya tetapi pada dirinya ada kelebihan karena dia ingin membawa islam lebih progresif dalam memajukan umatnya dari kejumudan.

“Itulah sebabnya Bung Karno pernah menyerukan agar umat islam menghidupkan Api Islam dan menjauhi sikap islam yang sontoloyo,”tulisnya lagi.

Api Islam digambarkannya sebagai ruh atau semangat yang dibawa oleh islam untuk membawa kemajuan dan kesejahteraan bagi umat manusia atau dalam bahasa sekarang, islam rahmatan lil alamin, sedangkan islam sontoloyo digambarkan sebagai sikap dan perilaku orang islam yang jumud, fanatic, dan menjadi islam untuk memperoleh keuntungan bagi diri sendiri.

Menurutnya, adalah menarik, sampai saat ini gambaraan umat islam yang berjuang dengan semangat api islam dan bekerja dengan islam sontoloyo, masih ada di berbagai belahan dunia.

Harus diingat pula bahwa piagam Jakarta yang menyebut sila pertama dasar negara Indonesia adalah “Ketuhanan dengan kewajiban menjalankan syariat islam bagi pemeluk-pemeluknya” adalah karya tim sembilan yang dibentuk dan dipimpin oleh bung Karno sendiri pada tanggal 22 Juni 1945 yang merupakan pengembangan dari pidatonya di depan sidang Badan Penyelidik Usaha-Usaha Persiapan kemerdekaan tanggal 1 Juni 1945.

Meskipun kemudian piagam Jakarta dimodifikasi pada tanggal 18 Agustus 1945 sehingga menjadi Pancasila seperti yang sekarang dipakai secara resmi, namun jejak kesantrian bung Karno tak bisa dihilangkan.

Selain menggagas pendirian Masjid Istiglal di Jakarta yang pada masanya digagas sebagai masjid terbesar di asia tenggara, bung Karno jugalah yang ikut giat mengembangkan tradisi islam secara resmi di Indonesia seperti adanya peringatan maulid, peringat isra dan mi’raj, halal bihalal, dan sebagainya di istana negara.

Di berbagai negara islam nama Soekarno sangat dikenal sebagai tokoh internasional yang sangat menginspirasi bagi kebangkitan dunia islam.

“Saya sendiri mencatat bahwa dalam konteks hubungan antara agama dan negara, bung Karno adalah pembangun konsep mietsaqon ghaliedzaa (Modus vivendi) atau peletak dasar moderasi islam yang paling terkemuka. Dia adalah tokoh bangsa yang berhasil mensenyawakan hubungan antara ke indonesiaan dan ke-islaman menjelang pada awal-awal proklamasi kemerdekaan Indonesia dan konsepsi yang sering disebut religious-nation state,”kata Mahfud menutup tulisannya.

Prof.Dr.Hamka Haq,MA dalam pengantar penulis buku ‘Asas Kehidupan Berbangsa dan Bernegara, Jejak Pemikiran Soekarno’ mengatakan, bukunya berisi empat materi pokok. Yakni, Pancasila, UUD 1945, NKRI dan Bhinneka Tunggal Ika.

Terhadap empat asas tersebut Hamka Haq mengkaji jejak pemikiran Soekarno mengenai perumusan dan penerapannya dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.

Jejak pemikiran dan langkah-langkah Bung Karno dapat ditelusuri melalui berbagai karya tulis dan pidatonya sejak tahun 1920, hingga menjabat presiden RI.

Khusus mengenai UUD 1945, penulis merujuk pada teks UUD 1945 yang asli sebelum mengalami amandemen. Hal ini dilakukan dengan pertimbangan bahwa teks UUD 1945 yang asli itulah yang dapat memberikan petunjuk bagaimana jejak pemikiran Soekarno di antara pemikiran para pendiri negara menyangkut konstitusi negara tersebut.

“Pancasila yang kita ketahui sekarang bukanlah tiba-tiba lahir dalam bentuk rumusan murni tanpa didahului rentetan historis yang penuh perdebatan di kalangan para pendiri negara,”tulisnya.

Rentetan historis yang melahirkan dasar negara itu dimulai dari pidato Soekarno pada tanggal 1 Juni 1945, yang dikenal juga sebagai pidato lahirnya Pancasila di hadapan badan penyelidik usaha persiapan kemerdekaan Indonesia yang diketuai oleh Dr. Radjiman.

Isi pidato itulah yang dibahas oleh panitia Sembilan di bawah pimpinan Soekarno, yang kemudian melahirkan piagam Jakarta pada tanggal 22 Juni 1945, sebagai sebuah rancangan pembukaan UUD 1945.

Piagam Jakarta berisi dasar negara Pancasila dengan sila pertama ‘Ketuhanan dengan kewajiban menjalankan Syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya’. Hal inilah menunjukkan bahwa untuk kehidupan bernegara, Soekarno memberi peluang bagi spirit islam sebagai agama yang dianut secara masyoritas oleh bangsa Indonesia, sepanjang dapat diterima oleh semua elemen bangsa.

Namun sebelum disahkannya UUD 1945 pada tanggal 18 Agustus 1945, rancangan tersebut mengalami perubahan penting, yakni terhapusnya tujuh kata, dengan kewajiban menjalankan syariat islam bagi pemeluk-pemeluknya, diganti dengan kata ‘Yang Maha Esa’. Perubahan itu terjadi karena sila pertama piagam Jakarta tidak dapat diterima secara aklamasi oleh semua elemen bangsa kita.

Pemahaman secara filosofis Pancasila sebagai dasar negara kebangsaan adalah bersumber dari pidato Soekarno tanggal 1 Juni 1945. Bahwa Negara Republik Indonesia yang akan dibangun adalah negara bangsa (Nation state) bukan yang lainnya. Dengan demikian, meskipun sila pertama Pancasila yang disahkan pada tanggal 18 Agustus 1945 berbunyi Ketuhanan Yang Maha Esa, dan meskipun menurut dekrit presiden 5 Juli 1955 piagam Jakarta berlaku sebagai jiwa UUD 1945, tidak berarti negara Republik Indonesia menjadi sebuah negara agama.

“Dalam kaitan inilah terasa betapa penting menjadikan pidato Soekarno 1 Juni 1945 tersebut sebagai tafsir filosofis Pancasila sebagai dasar negara,”tulis Hamka Haq.

Selain itu, pidato tanggal 1 Juni 1945 juga banyak menginspirasi arah dan maksud sejumlah pasal dalam konstitusi UUD 1945. Tanpa melupakan sumbangan pemikiran dari para pendiri Negara selain Soekarno yang juga turut aktif dalam penyusunan UUD 1945, jelas kendungan pidato Soekarno tersebut memiliki pengaruh besar dalam penyusunan konstitusi Negara Republik Indonesia. (DH Sihotang)