Jakarta – Ketua Komisi IV DPR RI Sudin mempertanyakan strategi Badan Pangan Nasional (Bapanas) Adi terkait kenaikan harga telur ayam yang saat ini sudah melampaui harga tertinggi tahun 2022. Dia pun mengutip kabar beredar yang menyebutkan pemerintah seolah lepas tangan dari gejolak harga telur ayam ini.
“Mungkin Kepala Badan Pangan juga mendengar atau baca juga di media, pemerintah lepas tanggung jawab terhadap tingginya harga telur,” kata Sudin saat Rapat Dengar Pendapat Komisi IV DPR RI hari ini, Senin (5/6/2023).
Pernyataan itu pun langsung dibantah Kepala Bapanas Arief Prasetyo Adi, “Tidak benar, Ketua.”
“Loh begini, ini di media bunyinya seperti itu, seolah-olah pemerintah lepas tanggung jawab atas tingginya harga telur. Ya mohon maaf ini, ibu-ibu kan tahu sendiri harga telur naik Rp1.000 saja ribut, apalagi naiknya sampai Rp4.000, kan gitu,” timpal Sudin.
Arief menjelaskan, saat ini kenaikan harga telur yang tinggi disebabkan oleh dua hal. Pertama, karena harga jagung yang juga mengalami kenaikan, serta yang kedua, karena memang pemerintah tengah menaikkan harga acuan di tingkat peternak.
“Karena kalau harganya di bawah Rp 24.000 per kilogram seperti kemarin, (bahkan) ada yang Rp20.000-21.000 itu kandang tutup. Sehingga pararel sambil kita siapkan bagaimana efisiensi di peternak,” jelas Arief dalam kesempatan yang sama.
Sementara itu, Panel Harga Badan Pangan menunjukkan, harga telur ayam hari ini turun Rp70 jadi Rp30.490 per kg. Sepekan lalu, 29 Mei 2023, harga tercatat di Rp30.700 per kg.
Harga tertinggi hari ini dilaporkan mencapai Rp39.280 per kg, terjadi di Maluku.
Harga saat ini sudah melampaui harga tertinggi tahun lalu yang tercatat Rp29.650 per kg di bulan Desember 20022. Harga tersebut adalah rata-rata nasional di tingkat pedagang eceran.
Sudin pun menanyakan biaya produksi telur, “Kira-kira biaya produksi 1 kilogram telur berapa sih? Badan Pangan tahu gak? Supaya ada harga acuan tadi dikatakan kandang tutup, itu acuannya berapa? Kira-kira saja, saya mau tahu perkiraan berapa biaya produksi 1 kilogram telur.”
“Perhitungan terakhir untuk biaya produksi 1 kilogram telur berada di sekitar Rp 20.000 per kilogram, selanjutnya harga transfernya Rp 24.000, kemudian harga acuan di tingkat konsumen berada di Rp 27.000 per kilogram pada waktu itu,” jawab Arief.
“Tapi hari ini?,” tanya Sudin kembali.
“Hari ini di atas Rp30.000, ada yang Rp32.000 kalau yang di remote area bisa Rp38.000, remote area ya agak jauh,” ungkap Arief.
Pemerintah, kata Arief, memang tengah berupaya menaikkan harga produksi di tingkat produsen, tetapi di tingkat konsumen tetap harus dibuat wajar.
“Jadi justru perintah dari Pak Presiden itu harga wajar di tingkat produsen kemudian pedagang dan konsumen, yang benar itu ketua. Sehingga harusnya tinggi di tingkat produsen, tetapi di tingkat konsumen itu dibuat wajar. Tinggi itu maksudnya tidak di Rp20.000 (per kilogram) tetapi tinggi bukan mahal, jadi sekitar Rp 24.000 – Rp26.000 itu masih wajar,” jelas Arief.
Komisi IV DPR RI Rapat Dengar Pendapat dengan Kepala Badan Pangan Nasional, Membahas RKA K/L dan RKP K/L Tahun 2024; dan Lain-lain, Senin, 5 Juni 2023 (Tangkapan Layar Youtube DPR)
Arief mengakui kenaikan yang terjadi saat ini sudah tidak wajar. Pasalnya, saat ini harga telur di kota besar atau di pulau Jawa sudah di atas Rp 36.000-38.000 per kilogram.
“Tapi kalau di hilir sudah di atas Rp36.000-38.000, utamanya di kota seperti pulau-pulau Jawa ini, itu sudah tidak wajar,” ujarnya.
“Dan setelah kita telusuri, harga jagung di atas Rp6.000 bahkan ada yang Rp6.600 ada Rp6.700, inilah yang kita sampaikan kepada teman-teman Bulog bahwa penyiapan CDC (corn drying center) dari Pak Dirut (Bulog) di beberapa sentra produksi jagung menjadi penting, jadi kita punya cadangan pangan jagung. Padahal kita sudah ditugaskan di Undang-undang, di peraturan juga mengenai beras, jagung, kedelai ada di Bulog untuk distok,” terang Arief.
Hanya saja, Sudin mempertanyakan rencana itu karena tak ada jagung yang bisa distok.
“Makanya tadi saya tanyakan biaya produksi awal itu telur berapa? Rp 24.000, jadi kalau nanti sampai konsumen itu Rp 29.000 itu saya rasa masih wajar, kan biaya angkut, dan lain-lain,” kata Sudin.
“Tetapi kalau saat ini sudah sampai mencapai Rp32.000-24.000 kan sudah tidak wajar. Nanti kalau BPS (badan pusat statistik) mengatakan ‘oh tidak ada inflasi itu atas kenaikan telur itu’, ya.. ini yang mau saya tahu, apa yang harus dilakukan Bapanas atas salah satu kasus tersebut,” pungkas Sudin.